
Baleg DPR Targetkan Revisi Undang-Undang Pemilu Selesai Juli 2026, Ini Alasannya
Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, pihaknya menargetkan revisi Undang-Undang Pemilu bisa selesai pada Juli 2026.
Politikus Golkar ini menjelaskan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa tahapan Pemilu 2029 harus dimulai 20 bulan sebelum pemilu itu berjalan. Sehingga, harus ada proses penetapan penyelenggara pemilu.
“Jadi kalau ditarik itu semua, itu artinya bulan Juli 2026 undang-undang ini harus selesai. Dari sekarang itu kan tinggal satu tahun dua bulan lagi,” kata Doli kepada wartawan, Jumat (18/4/2025).
Karena itu, lanjut dia, Baleg DPR melihat ada urgensi revisi UU Pemilu segera dirampungkan sebagaimana putusan MK, khususnya terkait parliamentary threshold dan presidential threshold.
Selain itu, Doli menjelaskan Undang-Undang Pilkada pun harus disatukan dalam UU Pemilu karena sudah masuk ranah di sana. Dia pun berharap revisi undang-undang ini tak dibahas mendekati penyelenggaraan pemilu.
“Saya mengatakan sebaiknya undang-undang ini kalau mau kita cari yang paling sempurna, kita punya cukup waktu. Nah satu tahun setengah itu cukup,” klaim Doli.
“Oni kan udah tinggal satu tahun dua bulan lagi. Makin nanti makin lama, makin mepet. Makanya saya selalu bicara-bicara, ayo dong kapan dong kita diskusi,” sambungnya.
Doli mengatakan, pembahasan revisi UU Pemilu butuh komitmen bersama. Presiden Prabowo Subianto sudah menyatakan komitmen untuk perbaikan sistem politik.
Kini butuh komitmen bersama antar seluruh pimpinan partai politik mendorong revisi UU Pemilu.
“Pemerintah harus tetap mendorong ini. Yang kedua komitmen partai-partai politik, pimpinan-pimpinan partai politik. Yang memerintahkan nanti fraksinya masing-masing untuk mulai membahas hal itu,” imbuhnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold pada Kamis (2/1/2025).
Diketahui ketentuan ambang batas tersebut ada dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusannya dilakukan karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra dalam sidang perkara 62/PUU-XXI/2023 menyampaikan pertimbangan putusan tersebut dilakukan karena dinilai hanya menguntungkan partai politik tertentu.
“Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR,” ucapnya di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Saldi juga menyampaikan adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden membuat masyarakat dibatasi dalam menggunakan hak pilihnya karena tidak cukup banyak alternatif pilihan pasangan calon yang ditawarkan.
Pihaknya juga mengatakan adanya ketentuan ambang batas sebagai syarat mengusung pasangan calon dapat membuat pemilu hanya diikuti oleh beberapa pasangan. Bahkan ada kemungkinan Pilpres kedepannya hanya diikuti oleh satu pasangan calon.
“Kecenderungan demikian paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong,” ucapnya. (Redaksi)